KLASIFIKASI SUMBERDAYA DAN CADANGAN BATUBARA


Pengelompokan tersebut mengandung dua aspek, yaitu aspek geologi dan aspek ekonomi. Klasifikasi sumberdaya batubara adalah sebagai berikut:

1. Sumber Daya Batubara Hipotetik (Hypothetical Coal Resource)
Sumber daya batubara hipotetik adalah batubara di daerah penyelidikan atau bagian dari daerah penyelidikan, yang dihitung berdasarkan data yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan untuk tahap penyelidikan survei tinjau. Sejumlah kelas sumber daya yang belum ditemukan yang sama dengan cadangan batubara yg diharapkan mungkin ada di daerah atau wilayah batubara yang sama dibawah kondisi geologi atau perluasan dari sumberdaya batubara tereka. Pada umumnya, sumberdaya berada pada daerah dimana titik-titik sampling dan pengukuran serat bukti untuk ketebalan dan keberadaan batubara diambil dari distant outcrops, pertambangan, lubang-lubang galian, serta sumur-sumur. Jika eksplorasi menyatakan bahwa kebenaran dari hipotesis sumberdaya dan mengungkapkan informasi yg cukup tentang kualitasnya, jumlah serta rank, maka mereka akan di klasifikasikan kembali sebagai sumber daya teridentifikasi (identified resources).

2. Sumber Daya Batubara Tereka (inferred Coal Resource)
Sumber daya batubara tereka adalah jumlah batubara di daerah penyelidikan atau bagian dari daerah penyelidikan, yang dihitung berdasarkan data yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan untuk tahap penyelidikan prospeksi.


Titik pengamatan mempunyai jarak yang cukup jauh sehingga penilaian dari sumber daya tidak dapat diandalkan. Daerah sumber daya ini ditentukan dari proyeksi ketebalan dan tanah penutup, rank, dan kualitas data dari titik pengukuran dan sampling berdasarkan bukti geologi dalam daerah antara 1,2 km – 4,8 km. termasuk antrasit dan bituminus dengan ketebalan 35 cm atau lebih, sub bituminus dengan ketebalan 75 cm atau lebih, lignit dengan ketebalan 150 cm atau lebih.

3. Sumber Daya Batubara Tertunjuk (Indicated Coal Resource)
Sumber daya batubara tertunjuk adalah jumlah batubara di daerah penyelidikan atau bagian dari daerah penyelidikan, yang dihitung berdasarkan data yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan untuk tahap eksplorasi pendahuluan.

Densitas dan kualitas titik pengamatan cukup untuk melakukan penafsiran secara relistik dari ketebalan, kualitas, kedalaman, dan jumlah insitu batubara dan dengan alasan sumber daya yang ditafsir tidak akan mempunyai variasi yang cukup besar jika eksplorasi yang lebih detail dilakukan. Daerah sumber daya ini ditentukan dari proyeksi ketebalan dan tanah penutup, rank, dan kualitas data dari titik pengukuran dan sampling berdasarkan bukti gteologi dalam daerah antara 0,4 km – 1,2 km. termasuk antrasit dan bituminus dengan ketebalan 35 cm atau lebih, sib bituminus dengan ketebalan 75 cm atau lebih, lignit dengan ketebalan 150 cm.

4. Sumber Daya Batubara Terukur (Measured Coal Resourced)
Sumber daya batubara terukur adalah jumlah batubara di daerah peyelidikan atau bagian dari daerah penyelidikan, yang dihitung berdasarkan data yang memenuhi syarat–syarat yang ditetapkan untuk tahap eksplorasi rinci.

Densitas dan kualitas titik pengamatan cukup untuk diandalkan untuk melakukan penafsiran ketebalan batubara, kualitas, kedalaman, dan jumlah batubara insitu. Daerah sumber daya ini ditentukan dari proyeksi ketebalan dan tanah penutup, rank, dan kualitas data dari titik pengukuran dan sampling berdasarkan bukti geologi dalam radius 0,4 km. Termasuk antrasit dan bituminus dengan ketebalan 35 cm atau lebih, sub bituminus dengan ketebalan 75 cm atau lebih, lignit dengan ketebalan 150 cm.

TEKTONIK GLOBAL PULAU JAWA


Tektonik Umum


Pulau Jawa berada di tepi tenggara Daratan Sunda (Sundaland). Pada Daratan Sunda ini terdapat dua sistem gerak lempeng; Lempeng Laut Cina Selatan di utara dan Lempeng Samudera Hindia di selatan. Lempeng Laut Cina Selatan (Eurasia) bergerak ke tenggara sejak Oligosen (Longley, 1997), sedangkanLempeng Samudera Hindia yang berada di selatan bergerak ke utara sejak Mesozoikum dan menunjam ke bawah sistem busur kepulauan Sumatra dan Jawa (Liu dkk., 1983). 


Pulau jawa yang terlihat saat sekarang adalah akibat adanya pergerakan dua lempeng yang bergerak saling mendekat dan mengalami tabrakan, dimana proses tersebut relatif bergerak menyerong (oblique) antara lempeng samudra hindia pada bagian barat daya dan lempeng Benua Asia bagian tenggara (eurasian), dimana lempeng samudra hindia akan menyusup ke lempeng asia tenggara. Pada zone subduksi akan dihasilkan palung jawa (Java trench) dengan pergerakan relatif 7 cm/tahun. Pada zone subduksi terdiri dari “Acctionary Complex ” yang materialnya secara garis besar dari lantai samudra india pada busur muka Jawa.


Fase Tektonika


Fase tektonik awal terjadi pada Mesozoikum ketika pergerakan Lempeng Indo-Australiake arah timurlaut menghasilkan subduksi dibawah Sunda Microplate sepanjang sutureKarangsambung-Meratus, dan diikuti oleh fase regangan (rifting phase) selama Paleogen dengan pembentukan serangkaian horst (tinggian) dan graben (rendahan). Aktivitas magmatik Kapur Akhir dapat diikuti menerus dari Timurlaut Sumatra –Jawa-Kalimantan Tenggara. Pembentukan cekungan depan busur (fore arc basin) berkembang di daerah selatan Jawa Barat dan Serayu Selatan di Jawa Tengah. Mendekati Kapur Akhir-Paleosen, fragmen benua yang terpisah dari Gondwana, mendekati zona subduksi Karangsambung- Meratus. Kehadiran allochthonous micro-continents di wilayah Asia Tenggara telah dilaporkan oleh banyak penulis (Metcalfe, 1996). Basementbersifat kontinental yang terletak di sebelah timur zona subduksi Karangsambung-Meratus dan yang mengalasi Selat Makasar teridentifikasi di Sumur Rubah- 1 (Conoco, 1977) berupa granit pada kedalaman 5056 kaki,sementara didekatnya Sumur Taka Talu-1 menembus basement diorit. Docking (mera-patnya) fragmen mikrokontinen pada bagian tepi timur Sundaland menyebabkan matinya zona subduksi Karang-sambung-Meratus dan terangkatnya zona subduksi tersebut menghasilkan Pegunungan Meratus.


Gambar 1. Rekonstruksi tektonika Pulau Jawa akhir kapur-paleogen



Evolusi tektonik tersier pulau jawa memasuki periode Eosen (Periode Ekstensional /Regangan). Periode ini terjadi Antara 54 jtl-45 jtl (Eosen), dimana di wilayah Lautan Hindia terjadi reorganisasi lempeng ditandai dengan berkurangnya secara mencolok kecepatan pergerakan ke utara India. Aktifitas pemekaran di sepanjang Wharton Ridgeberhenti atau mati tidak lama setelah pembentukan anomali 19 (atau 45 jtl). Berkurangnya secara mencolok gerak India ke utara dan matinya Wharton Ridge ini diinterpretasikan sebagai pertanda kontak pertama Benua India dengan zona subduksi di selatan Asia dan menyebabkan terjadinya tektonik regangan (extension tectonics) di sebagian besar wilayah Asia Tenggara yang ditandai dengan pembentukan cekungan-cekungan utama (Cekungan-cekungan: Natuna, Sumatra, Sunda, Jawa Timur, Barito, dan Kutai) dan endapannya dikenal sebagai endapan syn-rift. Pelamparan extension tectonics ini berasosiasi dengan pergerakan sepanjang sesar regional yang telah ada sebelumnya dalam fragmen mikrokontinen. Konfigurasi struktur basement mempengaruhi arah cekungan syn-rift Paleogen di wilayah tepian tenggara Sundaland (Sumatra, Jawa, dan Kalimantan Tenggara).


Gambar 2. Rekonstruksi tektonika Pulau Jawa pada eosen

Pada jaman Eosen itu juga disertai oleh pengangkatan terhadap jalur subduksi,sehingga di beberapa tempat tidak terjadi pengendapan. Pada saat ituterjadi pemisahan yang penting antara bagian utara Jawa dengan cekungannya yang dalam dari bagian selatan yang dicirikan oleh lingkungan engendapan darat, paparan dan dangkal. Proses pengangkatan tersebut berlangsung hingga menjelang Oligosen akhir. Proses yang dampaknya cukup luas (ditandai oleh terbatasnya sebaran endapan marin Eosen-Oligosen di Jawa dan wilayah paparan Sunda), dihubungkan puladengan berkurangnya kecepatan gerak lempeng Hindia-Australia (hanya 3 cm/tahun). Gerak tektonik pada saat itu didominasi oleh sesar-sesar bongkah, dengan cekungan-cekungan terbatas yang diisi oleh endapan aliran gayaberat (olistotrom dan turbidit)


Oligosen Akhir-Miosen Awal, terjadi gerak rotasi yang pertama sebesar 20° ke arah yang berlawanan dengan jarum jam dari lempeng Sunda (Davies, 1984). Menurut Davies, wilayah-wilayah yang terletak di bagian tenggara lempeng atau sekitar Pulau Jawa dan Laut Jawa bagian timur, akan mengalami pergeseran-pergeseran lateral yang cukup besar sebagai akibat gerak rotasi tersebut. Hal ini dikerenakan letaknya yang jauh dari poros rotasi yang oleh Davies diperkirakan terletak di kepulauan anambas. Akibat gerak rotasi tersebut, gejala tektonik yang terjadi wilayah pulau Jawa adalah:
a. Jalur subduksi Kapur-Paleosen yang mengarah barat-timur berubah menjadi timur timurlaut-barat baratdaya (ENE-WSW)
b. Sesar-sesar geser vertical (dip slip faults) yang membatasi cekungan cekunganmuka busur dan bagian atas lereng (Upper slope basin), sifatnya berubah menjadi sesar-sesar geser mendatar. Perubahan gerak daripada sesar tersebut akan memungkinkan terjadinya cekungancekungan “pull apart” khususnya di Jawa Tengah utara dan Laut Jawa bagian timur, termasuk Jawa Timur dan Madura. Menjelang akhir Miosen Awal, gerak rotasi yang pertama daripada lempeng Mikro Sunda mulai berhenti.
c. Miosen Tengah terjadi percepatan pada gerak lempeng Hindia-Australia dengan 5-6 cm/th dan perubahan arah menjadi N200°E pada saat menghampiri lempeng Mikro Sunda. Pada Akhir Miosen Tengah, terjadi rotasi yang kedua sebesar 20°-25°, yang dipicu oleh membukanya laut Andaman (Davies, 1984)


Berdasarkan data kemagnitan purba, gerak lempeng Hindia-Australia dalam menghampiri lempeng Sunda, mempunyai arah yang tetap sejak Miosen Tengah yaitu dengan arah N200°E. Dengan arah yang demikian, maka sudut interasi antara lempeng Hindia dengan Pulau Jawa akan berkisar antara 70° (atau hampir tegak lurus) Perubahan pola tektonik terjadi dijawa barat sebagai berikut :
a. Cekunagn muka busur eosen yang menampati cekungan pengendapan bogor, berubah statusnya menjadi cekungan belakang busur, dengan pengendapan turbidit (a.l. Fm. Saguling)
b. Sebagai penyerta dari interksi lempeng konvergen, tegasan kompresip yang mengembang menyebapkan terjadinya sesar-sesar naik yang arahnya sejajar dengan jalur subduksi dicekunagn belakang busur. Menurut Sujono (1987), sesar- sesar tersebut mengontrol sebaran endapan kipas-kipas laut dalam. Di jawa tengah pengendapan kipas-kipas turbidit juga berlangsung didalam cekungan “belakang busur” yang mengalami gerak-gerak penurunan melalui sesar-sesar bongkah dan menyebapkan terjadinya sub cekungan.

Produk subduksi


a. Outer arc (busur luar)
Pada subduksi antara lempeng samudra hindia dengan lempeng Eurasia di selatan pulau jawa tidak terbentuk pulau-pulau lepas pantai namun hanya berupa punggungan dibawah permukaan laut, hal ini dapat terjadi karena adanya pengaruh kecepatan lempeng yang akan mempengaruhi tektonik, pola sedimentasinya serta struktur pada daerah atas zone subduksinya.


b. Fore arc basin (cekungan didepan zona subduksi)
Terbentuk sepanjang batas tumbukan lempeng yang letaknya dekat dengan zone penunjaman dan letaknya antara busur luar non vulkanik (outer arc) dan busur vulkanik. Pada pulau jawa, fore arc basin membentang luas pada lempeng benua dan terbentuk pada akhir paleogen berupa sedimen recent dan terjadi karena proses pemekaran lantai samudra pada oligecen dan diikuti dengan uplift dan erosi secara regional.


c. Vulcanic active arc (Busur vulkanik aktif)
Merupakan jajaran gunungapi yang terbentuk akibat adanya perpanjangan zone subduksi “sunda arc system”. Akibat tumbukan dua lempeng tersebut akan mengakibatkan berkurangnya gerak lempeng hindia-australia ke utara, sehingga akan mengakibatkan adanya adanya gerak berlawanan jarum jam (gerak rotasi) dari lempeng dataran sunda sehingga akan terbentuk jalur sesar naik (thrust) dari sebelah barat jawa dan bergerak relatif ke utara (Berbaris sampai Kendeng Thrust) dan diperpanjang hingga bali (Bali Thrust) dan sampai Flores (Flores trhust). Pada miosen tengah lempeng mengalami percepatan hingga akan terjadi pembentukan busur magma di sebelah selatan jawa dan pengaktifan kembali sesar-sesar disertai dengan kegiatan volkanisme (berupa intrusi dan pembentukan gunung api).


c. Back arc basin (cekungan dibelakang zona subduksi)
Disebelah utara busur jawa dan pada laut jawa cekungan busur belakng ., pada lempeng benua dihasilkan pada paparan sunda dan lempeng samudtra padasebelah utara bali dan flores> Cekungan pada paparan sunda dibentuk pada palageogen akhir sebagai “rift basin” dan kemudian pada Neogen akhir prosesnya dipengaruhi oleh tekanan pada sunda orogency dan selanjutnya terdeformasi menjadi tight hingga lipatannya membentuk isoclinal. Yang termasuk pada Cekungan busur dalam (back arc basin) ialah Cekungan Jawa barat (meliputi Cekungan sunda di sebelah barat, Cekungan belintang di timur laut, dan Cekungan cirebon di bagian timur) dan Cekungan Jawa timur (meliputi Cekungan jawa tengah bagian utara dan Cekungan madura.

BATUBARA


Batubara merupakan hasil dari akumulasi tumbuh-tumbuhan pada kondisi lingkungan pengendapan tertentu. Akumulasi tersebut telah dikenai pengaruh-pengaruh synsedimentary dan post-sedimentary. Akibat pengaruh-pengaruh tersebut dihasilkanlah batubara dengan tingkat (rank) dan kerumitan struktur yang bervariasi.

Batubara adalah batuan sedimen yang dapat terbakar, terbentuk dari endapan organik, utamanya adalah sisa-sisa tumbuhan dan terbentuk melalui proses pembatubaraan. Potensi batubara Indonesia masih memungkinkan untuk lebih ditingkatkan lagi dengan memberikan prioritas yang lebih besar pada pengembangan dan pemanfaatannya untuk meningkatkan peranan batubara.
Di Indonesia, endapan batubara yang bernilai ekonomis terdapat di cekungan Tersier, yang terletak di bagian barat Paparan Sunda (termasuk Pulau Sumatera dan Kalimantan), pada umumnya endapan batubara ekonomis tersebut dapat dikelompokkan sebagai batubara berumur Eosen atau sekitar Tersier Bawah, kira-kira 45 juta tahun yang lalu dan Miosen atau sekitar Tersier Atas, kira-kira 20 juta tahun yang lalu menurut Skala waktu geologi.

Di Indonesia produksi batubara pada tahun 1995 mencapai sebesar 44 juta ton. Sekitar 33 juta ton dieksport dan sisanya sebesar 11 juta ton untuk konsumsi dalam negeri. Dari jumlah 11 juta ton tersebut 60 % atau sekitar 6.5 juta ton digunakan untuk pembangkit listrik, 30 % untuk industri semen dan sisanya digunakan untuk rumah tangga dan industri kecil.

Materi Pembentuk Batubara
Hampir seluruh pembentuk batubara berasal dari tumbuhan. Jenis-jenis tumbuhan pembentuk batubara dan umurnya menurut Diessel (1981) adalah sebagai berikut:

Alga, dari Zaman Pre-kambrium hingga Ordovisium dan bersel tunggal. Hasil endapan batubara dari periode ini sangat sedikit.
Silofita, dari Zaman Silur hingga Devon Tengah, merupakan turunan dari alga. Sedikit endapan batubara dari periode ini.
Pteridofita, umur Devon Atas hingga KArbon Atas. Materi utama pembentuk batubara berumur Karbon di Eropa dan Amerika Utara. Tumbuh-tumbuhan tanpa bunga dan biji, berkembang biak dengan spora dan tumbuh di iklim hangat.
Gimnospermae, kurun waktu mulai dari Zaman Permian hingga Kapur Tengah. Tumbuhan heteroseksual, biji terbungkus dalam buah, semisal pinus, mengandung kadar getah (resin) tinggi. Jenis Pteridospermae seperti gangamopteris dan glossopteris adalah penyusun utama batubara Permian seperti di Australia, India dan Afrika.
Angiospermae, dari Zaman Kapur Atas hingga kini. Jenis tumbuhan modern, buah yang menutupi biji, jantan dan betina dalam satu bunga, kurang bergetah dibanding gimnospermae sehingga, secara umum, kurang dapat terawetkan.

Potensi batubara di Indonsia masih memungkinkan untuk lebih ditingkatkan lagi dengan memberikan prioritas yang lebih besar pada pengembangan dan pemanfaatannya untuk meningkatkan peranan batubara menjelang tinggal landas pada awal Pelita VI. Salah satu dukungan yang disarankan adalah pemantapan perencanaan dan pelaksanaan produksi secara terpadu, sehingga kapasitas produksi selalu dapat memenuhi peningkatan permintaan batubara baik dari dalam negeri maupun luar negeri.

Batubara terbentuk dengan cara yang sangat kompleks dan memerlukan waktu yang lama (puluhan sampai ratusan juta tahun) di bawah pengaruh fisika, kimia ataupun keadaan geologi. Untuk memahami bagaimana batubara terbentuk dari tumbuh-tumbuhan perlu diketahui di mana batubara terbentuk dan factor-faktor yang akan mempengaruhinya, serta bentuk lapisan batubara.

Pembentukan Batubara
Batubara terbentuk dari sisa tumbuhan mati dengan komposisi utama dari cellulose. Proses pembentukan batubara atau coalification yang dibantu oleh factor fisika, kimia alam akan mengubah cellulosa menjadi lignit, subbitumine dan antrasite. Gas-gas yang terbentuk selama proses pembentukan batubara akan masuk ke dalam celah-celah vein batulempung dan ini sangat berbahaya. Gas metan yang sudah terakumulasi di dalan celah vein, terlebih-lebih apabila terjadi kenaikan temperature, karena tidak dapat keluar, sewaktu-waktu dapat meledak dan terjadi kebakaran. Oleh karena itu, mengatahui bentuk deposit batubara dapat menentukan cara penambangan yang akan dipilih dan juga meningkatkan keselamatan kerja.

Tempat Terbentuknya Batubara
Batubara adalah mineral organik yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa tumbuhan purba yang mengendap yang selanjutnya berubah bentuk akibat proses fisika dan kimia yang berlangsung selama jutaan tahun. Oleh karena itu, batubara termasuk dalam kategori bahan bakar fosil. Adapun proses yang mengubah tumbuhan menjadi batubara tadi disebut dengan pembatubaraan (coalification).

Faktor tumbuhan purba yang jenisnya berbeda-beda sesuai dengan jaman geologi dan lokasi tempat tumbuh dan berkembangnya, ditambah dengan lokasi pengendapan (sedimentasi) tumbuhan, pengaruh tekanan batuan dan panas bumi serta perubahan geologi yang berlangsung kemudian, akan menyebabkan terbentuknya batubara yang jenisnya bermacam-macam. Oleh karena itu, karakteristik batubara berbeda-beda sesuai dengan lapangan batubara (coal field) dan lapisannya (coal seam).

Gambar 1. Proses Terbentuknya Batubara

Pembentukan batubara dimulai sejak periode pembentukan Karbon (Carboniferous Period) --dikenal sebagai zaman batu bara pertama-- yang berlangsung antara 360 juta sampai 290 juta tahun yang lalu. Kualitas dari setiap endapan batu bara ditentukan oleh suhu dan tekanan serta lama waktu pembentukan, yang disebut sebagai 'maturitas organik'. Proses awalnya, endapan tumbuhan berubah menjadi gambut (peat), yang selanjutnya berubah menjadi batu bara muda (lignite) atau disebut pula batu bara coklat (brown coal). Batubara muda adalah batu bara dengan jenis maturitas organik rendah.

Setelah mendapat pengaruh suhu dan tekanan yang terus menerus selama jutaan tahun, maka batu bara muda akan mengalami perubahan yang secara bertahap menambah maturitas organiknya dan mengubah batubara muda menjadi batu bara sub-bituminus (sub-bituminous). Perubahan kimiawi dan fisika terus berlangsung hingga batu bara menjadi lebih keras dan warnanya lebih hitam sehingga membentuk bituminus (bituminous) atau antrasit (anthracite).

Dalam kondisi yang tepat, peningkatan maturitas organik yang semakin tinggi terus berlangsung hingga membentuk antrasit. Dalam proses pembatubaraan, maturitas organik sebenarnya menggambarkan perubahan konsentrasi dari setiap unsur utama pembentuk batubara. Berikut ini ditunjukkan contoh analisis dari masing --masing unsur yang terdapat dalam setiap tahapan pembatubaraan.

Tabel 1. Contoh Analisis Batubara (daf based)


Dalam pembentukan batubara, semakin tinggi tingkat pembatubaraan,maka kadar karbon akan meningkat, sedangkan hidrogen dan oksigen akan berkurang. Karena tingkat pembatubaraan secara umum dapat diasosiasikan dengan mutu atau kualitas batubara, maka batubara dengan tingkat pembatubaraan rendah disebut pula batubara bermutu rendah-- seperti lignite dan sub-bituminus biasanya lebih lembut dengan materi yang rapuh dan berwarna suram seperti tanah, memiliki tingkat kelembaban (moisture) yang tinggi dan kadar karbon yang rendah, sehingga kandungan energinya juga rendah. Semakin tinggi mutu batubara, umumnya akan semakin keras dan kompak, serta warnanya akan semakin hitam mengkilat. Selain itu, kelembabannya pun akan berkurang sedangkan kadar karbonnya akan meningkat, sehingga kandungan energinya juga semakin besar.

Untuk menjelaskan tempat terbentuknya batubara, dikenal dua macam teori yaitu :
a. Teori Insitu
Teori ini mengatakan bahwa bahan-bahan pembentuk lapisan batubara, terbentuknya ditempat dimana tumbuh-tumbuhan asal itu berada. Dengan demikian maka setelah tumbuhan tersebut mati, belum mengetahui proses transportasi segera tertutup oleh lapisan sedimen dan mengalami proses coalification. Jenis batubara yang terebentuk dengan cara ini mempunyai penyebaran luas dan merata, kualitasnya lebih baik karena kadar abunya relative kecil. Batubara yang terbentuk seperti ini di Indonesia didapatkan di lapangan batubara Muara Enir – Sumatera Selatan.

b. Teori Drift
Teori ini menyebutkan bahwa bahan-bahan pembentuk lapisan batubara terjadinya ditempat yang berbeda dengan tempat tumbuhan semula hidup dan berkembang. Dengan demikian tumbuhan yang telah mati di angkut oleh media air dan berakumulasi disuatu tempat, tertutupoleh batuan sedimen dan mengalami proses coalification. Jenis batubara yang terbentuk dengan cara ini mempunyai penyebaran tidak luas, tetapi di jumapi dibeberapa tempat, kualitas kurang baik karena banyak mengandung material pengotor yang terangkut bersama selama proses pengangkutan dari tempat asal tanaman ke tempat sedimentasi. Batubara yang terbentuk seperti ini di Indonesia didapatkan dilapangan batubara delta Mahakam Purba – Kalimantan Timur.

Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Batubara
Cara terbentuknya batubara merupakan proses yang komples, dalam asti harus dipelajari dari berbagai sudut yang berbeda. Terdapat serangkaian factor yang diperlukan dalam pembentukan batubara yaitu

a. Posisi Geotektonik
Adalah suatu tempat yang keberadaannya dipengaruhi oleh gaya-gaya tektonik lempeng. Dalam pembentukan cekungan batubara, posisi geotektonik merupakan factor yang dominan. Posisi ini akan mempengaruhi iklim local dan morfologi cekungan pengendapan batubara maupun kecepatan penurunannya. Pada fase terakhir, posisi geotektonik mempengaruhi proses metamorfosa organic dan struktur dari lapangan batubara melalui masa sejarah setelah pengendapan akhir.

b. Topografi (Morfologi)
Morfologi dari cekungan pada saat pembentukan gambut sangat penting karena menentukan penyebaran rawa-rawa di mana batubara tersebut terbentuk. Topografi mungkin mempunyai efek yang terbatas terhadap iklim dan keadaannya bergantung pada posisi geotektonik.

c. Iklim
Kelembaban memegang peranan penting dalam pembentukan batubara dan merupakan factor pengontrol pertumbuhan flora dan kondisi yang sesuai. Iklim tergantung pada posisi geografi dan lebih luas lagi dipengaruhi oleh posisi geotektonik. Temperature yang lembab pada iklim tropis dan sub tropis pada umumnya sesuai untuk pertumbuhan flora dibandingkan wilayah yang lebih dingin. Hasil pengkajian menyatakan bahwa hutan rawa tropis mempunyai siklus pertumbuhan setipa 7 – 9 tahun dengan ketinggian pohon sekitar 30 meter. Sedangkan pada iklim yang lebih dingin, ketinggian pohon hanya mencapai 5 – 6 meter dalam selang waktu yang sama.

d. Penurunan
Penurunan cekungan batubara dipengaruhi oleh gaya-gaya tekonik. Jika penurunan dan pengandapan gambut seimbang akan dihasilkan endapan batubara tebal. Pergantian transgresi dan regresi mempengaruhi pertumbuhan flora dan pengendapannya. Hal ini menyebabkan adanya infiltrasi material dan mineral yang mempengaruhi mutu dari batubara yang terbantuk.

e. Umur Geologi
Proses geologi menentukan berkembangnya evolusi kehidupan berbagai macam tumbuhan. Dalam masa perkembangan geologi secara tidak langsung membahas sejaran pengendapan batubara dan metamorfosa organic. Makin tua umur batuan makin dalam penimbunan yang terjadi, sehingga terbentuk batubara yang bermutu tinggi. Tetapi pada batubara yang mempunyai umur geologi lebih tua selalu ada resiko mengalami deformasi tektonik yang membentuk struktur perlipatan atau patahan pada lapisan batubara. Disamping itu factor erosi akan merusak semua bagian dari endapan batubara.

f. Tumbuhan
Flora merupakan unsure utama pembentuk batubara. Pertumbuhan dari flora terakumulasi pada suatu lingkungan dan zona fisografi dengan iklim dan topografi tertentu. Flora merupakan factor penentu terbentuknya berbagai tipe batubara. Evolusi dari kehidupan menciptakan kondisi yang berbeda selama masa sejarah geologi. Mulai dari Paleozoic hingga Devon pertamakali terbentuk lapisan batubara di daerah lagon yang dangkal. Periode ini merupakan titik awal dari pertumbuhan flora secara besar-besaran dalam waktu singkat pada setiap kontinen. Hutan tumbuh dengan subur selama masa Karbon. Pada masa tersier merupakan perkembangan yang sangat luas dari berbagai jenis tanaman.

g. Dekomposisi
Dekomposisi flora yang merupakan bagian dari transformasi biokimia dari organic merupakan titik awal untuk seluruh alterasi. Dalam pertumbuhan gambut, sisa tumbuhan akan mengalami perubahan, baik secara fisik maupun kimiawi. Setelah tumbuhan mati, proses degradasi biokimia lebih berperan. Proses pembusukan akan terjadi oleh kerja mikrobiologi (bakteri anaerob). Kecepatan pertumbuhan gambut bergantung pada kecepatan perkembangan tumbuhan dan proses pembusukan. Bila tumbuhan tertutup oleh air dengan cepat, maka akan terhindar oleh proses pembusukan, tetapi terjadi proses desintegrasi atau penguraian oleh mikrobiologi. Bila tumbuhan yang telah mati terlalu lama berada di udara terbuka, maka kecepatan pembusukan gambut akan berkurang sehingga hanya bagian keras saja tertinggal yang menyulitkan penguraian oleh mikribiologi.

h. Sejarah Sesudah Pengendapan
Searah cekungan batubara secara luas bergantung pada posisi geotektonik yang mempengaruhi perkembangan batubara dan cekungan batubara. Secara singkat terjadi proses geokimia dan metamorfosa organic setelah pengendapan gambut. Di samping itu sejarah geologi endapan batubara bertanggung jawab terhadap terbentuknya struktur cekungan batubara, berupa perlipatan, persesaran, intrusi magmatic dan sebagainya.

i. Struktur Cekungan Batubara
Terbentuknya batubara pada cekungan, umumnya mengalami deformasi oleh gaya tektonik yang menghasilkan lapisan batubara dengan bentuk-bentuk tertentu. Disamping itu adanya erosi yang intensif menyebabkan bantuk lapisan batubara tidak menerus.

j. Metamorfosa Organik
Tingkat kedua dalam pembentukan batubara adalah penimbunan atau pengaburan oleh sedimen baru. Pada tingkat ini proses degradasi biokimia tidak berperan lagi tetapi lebih didominasi oleh proses dinamokimia. Proses ini menyebabkan terjadninya perubahan gambut menjadi batubara dalam berbagai mutu. Selama proses ini terjadi pengurangan air lembab, oksigen dan zat terbang serta bertambahnya prosentas karbon pada, belerang dan kandungan abu. Tekanan dapat disebabkan oleh lapisan sedimen penutup yang sangat tebal atau karena tektonik. Hal ini menyebabkan bertambahnya tekanan dan percepatan proses metamorfosa organic. Proses ini akan dapat mengubah gambut menjadi batubara sesuai dengan perubahan sifat kimia, fisik, dan optiknya.

Terbentuknya Lapisan Batubara Tebal

Lapisan batubara tebal merupakan deposit batubara yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Salam satu syarat yang dapat membentuk lapisan batubara tebal adalah apabila terdapat suatu cekungan yang oleh karena adanya beban pengendapan bahan-bahan pembentuk batubara di atasnya mengakibatkan dasar cekungan tersebut turun secara perlahan-lahan.

Cekungan ini umumnya terdapat didaerah rawa-rawa (hutan bahaku) di tepai pantai. Dasar cekungan yang turun secara perlahan-lahan dengan pembentukan batubara memungkinkan permukaan air laut akan tetap dan kondisi rawa stabil. Apabila karena proses geologi dasar cekungan turun secara cepat, maka air laut akan masuk ke dalam cekungan sehingga mengubah kondisi rawa menjadi kondisi laut.

Akibatnya di atas lapisan pembentuk batubara akan terendapkan lapisan sedimen laut antara lain batugamping. Pada tahap selanjutnya akan terjadi kembali pengendapan batulempung yang memungkinkan untuk kembali terbentuk kondisi rawa. Proses selanjutnya akan terkumpul dan terendapkan bahan-bahan pembentuk batubara (sisa tumbuhan) di atas lapisan batulempung. Demikian seterusnya sehingga terbentuk lapisan batubara dengan diselingi oleh lapisan antara yang berupa batugamping dan batulempung. Tidak jarang dijumpau lapisan batubara sering terbentuk lapisan antara yang berupa batulempung yang disebut sebagai clay band atau clay parting.

Bentuk Lapisan Batubara

Bentuk cekungan, proses sedimentasi, proses geologi selama dan sesudah proses pembentukan batubara akan menentukan bentuk lapisan batubara. Mengetahui bentuk lapisan batubara sangat menentukan dalam menghintung cadangan dan merencanakan cara penambangannya. Beberapa bentuk lapisan batu baru, yaitu :

a. Bentuk Horse Back
Bentuk ini dicirikan oleh perlapisan batubara dan batuan yang menutupnya melengkung kea rah atas akibat gaya kompresi. Ketebalan kea rah lateral lapisan batubara kemungkinan sama ataupun menjadi lebih kecil atau menipis.

b. Bentuk Pinch
Bentuk ini dicirikan oleh perlapisan yang menipis dibagian tengah. Pada umumnya dasar dari lapisan natubara merupakan batuan yang plastis, misalnya batulempung. Sedang di atas lapisan batubara secara setempat ditutupi oleh batupasir yang secara lateral merupakan pengisian suatu alur.

c. Bentuk Clay Vein
Bentuk itu terjadi apabila di antara dua bagian deposit batubara terdapat urat lempung. Bentukan ini terjadi apabila pada satu seri deposit batubara mengalami patahan, kemudian pada bidang patahan yang merupakan rekahan terbuka terisi oleh material lempung ataupun pasir.

d. Bentuk Burried Hill
Bentuk ini terjadi apabila di daerah di mana batubara semula terbentuk terdapat suatu kulminasi sehingga lapisan batubara seperti “terintrusi”.

e. Bentuk Fault
Bentuk ini terjadi apabila di daerah di mana deposit batubara mengalami beberapa seri patahan. Keadaan ini akan mengacaukan di dalam perhitungan cadangan, akibat adanya perpindahan perlapisan akibat pergeseran kea rah vertical. Dalam melakukan eksplorasi batubara di daerah yang banyak gejala patahan harus dilakukan dengan tingkat ketelitian yang tinggi.

f. Bentuk Fold
Bentuk ini terjadi apabila di daerah di mana deposit batubara mengalami perlipatan. Makin intensif gaya yang bekerja pembentuk perlipatan akan makin komplek. Dalam melakukan eksplorasi batubara di daerah tersebut juga terjadi patahan harus dilakukan dengan tingkat ketilitian yang tinggi.

Klasifikasi Dan Kualitas Batubara

Mutu setiap batubara akan ditentukan oleh faktor suhu, tekanan, serta lama waktu pembentukan. Semua faktor tersebut, kemudian dikenal dengan istilah maturitas organik. Semakin tinggi maturitas organiknya, maka semakin bagus mutu batubara yang dihasilkan, begitu juga sebaliknya. Berdasarkan hal tersebut, maka kita dapat mengidentifikasikan batubara menjadi 2 golongan, yaitu:

1. Batubara dengan mutu rendah.
Batubara pada golongan ini memiliki tingkat kelembaban yang tinggi, serta kandungan karbon dan energi yang rendah. Biasanya batubara pada golongan ini memiliki tekstur yang lembut, mudah rapuh, serta berwarna suram seperti tanah. Jenis batubara pada golongan ini diantaranya lignite (batubara muda) dan sub-bitumen.

2. Batubara dengan mutu tinggi.
Batubara pada golongan ini memiliki tingkat kelembaban yang rendah, serta kandungan karbon dan energi yang tinggi. Biasanya batubara pada golongan ini memiliki tekstur yang keras, materi kuat, serta berwarna hitam cemerlang. Jenis batubara pada golongan ini diantaranya bitumen dan antrasit.

Pembahasan masing-masing jenis batubara dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Lignite, disebut juga batubara muda. Merupakan tingkat terendah dari batubara, berupa batubara yang sangat lunak dan mengandung air 70% dari beratnya. Batubara ini berwarna hitam, sangat rapuh dan seringkali menunjukkan struktur serat kayu. Nilai kalor rendah karena kandungan air yang sangat banyak (30-75 %), kandungan karbon sangat sedikit (60-68&), kandungan abu dan sulfur yang banyak (52.5-62.5). Batubara jenis ini dijual secara eksklusif sebagai bahan bakar untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Lignite dijumpai pada kondisi yang masih muda, berkisar Cretaceous sampai Tersier.


2. Sub-Bituminous: karakteristiknya berada di antara batubara lignite dan bituminous, terutama digunakan sebagai bahan bakar untuk PLTU. Sub-bituminous coal mengandung sedikit carbon dan banyak air, dan oleh karenanya menjadi sumber panas yang tidak efisien

3. Bituminous: batubara yang tebal, biasanya berwarna hitam mengkilat, terkadang cokelat tua. Bituminous coal mengandung 68 - 86% karbon dari beratnya dengan kandungan abu dan sulfur yang sedikit. Umumnya dipakai untuk PLTU, tapi dalam jumlah besar juga dipakai untuk pemanas dan aplikasi sumber tenaga dalam industri dengan membentuknya menjadi kokas-residu karbon berbentuk padat.
4. Antrasit: peringkat teratas batubara, biasanya dipakai untuk bahan pemanas ruangan di rumah dan perkantoran. Batubara antrasit berbentuk padat (dense), batu-keras dengan warna jet-black berkilauan (luster) metalik dengan struktur kristal dan konkoidal pecah. Mengandung antara 86% - 98% karbon dari beratnya, 9,3% abu, dan 3,6% bahan volatile. Antarasit terbakar lambat, dengan batasan nyala api biru (pale blue flame) dengan sedikit sekali asap. Antrasit terbentuk pada akhir Karbon oleh pergerakan bumi yang menyebabkan pemanasan dan tekanan tinggi yang merubah material berkarbon seperti yang terdapat saat ini.



Batubara menurut waktu pembentukannya di Indonesia terdapat mulai skala waktu Tersier sampai Recent. Pembagiannya dapat dijelaskan sebagai berkut:
1. Batubara paleogen, merupakan batubara yang terbentuk pada cekungan intranmontain, contohnya yang terdapat di Ombilin, Bayah, Kalimantan Tenggara serta Sulawesi Selatan.
2. Batubara neogen, yakni batubara yang terbentuk pada cekungan foreland, contohnya terdapat di Tanjung Enim, Sumatera Selatan.
3. Batubara delta, yakni endapan batubara yang terdapat di hampir seluruh Kalimantan Timur

Brown Coal vs Hard Coal menurut SNI 1998
1. Batubara coklat (Brown coal)
Batubara coklat (Brown coal) adalah jenis batubara yang paling rendah peringkatnya, bersifat lunak, mudah diremas, mengandung kadar air yang tinggi (10-70%), terdiri atas batubara coklat muda lunak (soft brown coal) dan batubara lignitik atau batubara cokelat keras (lignitik atau hard brown coal) yang memperlihatkan struktur kayu. Nilai kalorinya < 5700 kal/gr (dry mineral matter free).

2. Batubara keras (Hard coal)
Batubara keras (Hard coal) adalah semua jenis batubara yangperingkatnya lebih tinggi dari brown coal, bersifat lebih keras, tidak mudah diremas, kompak, mengandung kadar air yang relatif rendah, umumnya struktur kayunya tidak tampak lagi, relative tahan terhadap kerusakan fisik pada saat penanganan (coalhandling). Nilai kalorinya > 5700 kal/gr (dry mineral matter free).

Kualitas batubara adalah sifat fisika dan kimia dari batubara yang mempengaruhi potensi kegunaannya. Kualitas batubara ditentukan oleh maseral dan mineral matter penyusunnya, serta oleh derajat pembatubaraan. Umumnya, untuk menentukan kualitas batubara dilakukan analisa kimia pada batubara yang diantaranya berupa analisis proksimat dan analisis ultimat. Analisis proksimat dilakukan untuk menentukan jumlah air (moisture), zat terbang (volatile matter), karbon padat (fixed carbon), dan kadar abu (ash), sedangkan analisis ultimat dilakukan untuk menentukan kandungan unsur kimia pada batubara seperti : karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen, sulfur, unsur tambahan dan juga unsur jarang.

Kualitas batubara ini diperlukan untuk menentukan apakah batubara tersebut menguntungkan untuk ditambang selain dilihat dari besarnya cadangan batubara di daerah penelitian. Untuk menentukan jenis batubara, digunakan klasifikasi American Society for Testing and Material (ASTM, 1981, op cit Wood et al., 1983). Klasifikasi ini dibuat berdasarkan jumlah karbon padat dan nilai kalori dalam basis dry, mineral matter free (dmmf). Untuk mengubah basis air dried (adb) menjadi dry, mineral matter free (dmmf) maka digunakan Parr Formulas (ASTM, 1981, op cit Wood et al., 1983).